Selasa, 28 Oktober 2014

Syeikh Nuruddin Ar-Raniri


Atjeh Pusaka - Ar Raniri lengkapnya Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani. Ar Raniri diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, India, dan wafat pada 21 September 1658. Pada tahun 1637, Ar Raniri datang ke Aceh, dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644.

Ar-Raniri memiliki pengetahuan luas yang meliputi tasawuf, kalam, fikih, hadits, sejarah, dan perbandingan agama. Selama masa hidupnya, ia menulis kurang-lebih 29 kitab, yang paling terkenal adalah "Bustanus al-Salatin". Namanya kini diabadikan sebagai nama perguruan tinggi agama islam (IAIN) di Banda Aceh.

Beliau di katakan telah berguru kepada Sayyid Umar Abu Hafs bin Abdullah Basyeiban yang di India lebih dikenal dengan Sayyid Umar Al-Idrus karena adalah khalifah Tariqah Al-Idrus Balawi di India. Ar-Raniri juga telah menerima Tariqah Rifaiyyah dan Qodariyyah dari guru beliau. Putera Abu Hafs yaitu Sayyid Abdul Rahman Tajudin yang datang dari Balqeum, Karnataka, India pula telah bernikah setelah berhijrah ke Jawa dengan Syarifah Khadijah, puteri Sultan Cirebon dari keturunan Sunan Gunung Jati.

Jejak-jejak Intelektual Ar-Raniri

Ar-Raniri sendiri memulai perjalanan intelektualnya dengan belajar ilmu agama di tanah kelahirannya (Ranir), sebelum berkelana ke Tarim, Hadramaut, Arab Selatan, yang ketika itu men jadi pusat studi agama Islam. Pada tahun 1621 M, ia mengunjungi Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Nabi. Di tanah haram inilah Ar-Raniri menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan berasal dari wilayah Nusantara.

Dalam kapasitas seperti ini, Ar-Raniri sudah dapat dikategorikan telah menjalin hubungan dengan orang-orang Melayu, khususnya dalam hal komunikasi intelektual Islam. Jalinan hubungan inilah yang menjadi awal mula bagi perjalanan intelektual Islam Ar-Raniri di kemudian hari.

Dalam perkembangannya, Ar-Raniri juga merupakan seorang syeikh tarekat Rifa'iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M).

Ia belajar ilmu tarekat ini melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, Syeikh Said Abu Hafs Umar b. 'Abd Allah Ba Syaiban dari Tarim, atau yang dikenal di Gujarat dengan sebutan Sayid Umar Al Aydarus. Sementara Ba Syaiban sendiri belajar tarekat dari ulama-ulama Haramain selama empat tahun, seperti Sayyid Umar b.'Abd Allah Al-Rahim Al-Bashri (w. 1638), Ahmad Ibrahim b. Alan (w. 1624 M), dan 'Rahman Al-Khatib Al-Syaib 1605 M). Dari Ba Syaiban pulalah Ar-Raniri dibaiat sebagai khalifah (penggantinya) untuk menyebarluaskan tarekat Rifaiyyah di tanah Melayu. Kendati demikian, Ar-Raniri juga memiliki silsilah inisiasi dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qodiriyyah Maqassar.

Setelah beberapa tahun melakukan perjalanan intelektual di Timur-Tengah dan wilayah anak benua India, Ar-Raniri mulai merantau ke wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat tinggalnya. la datang di Aceh pada tanggal 31 Mei 1637 M (6 Muharram 1047 H), namun hingga kini belum diketahui secara pasti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya memilih Aceh. Pilihan ini diduga karena ketika itu Aceh berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik dan agama Islam di kawasan Asia Tenggara, yang menggantikan posisi Malaka setelah dikuasai oleh Portugis.

Adapun kemungkinan lainnya, Ar-Raniri mengikuti pamannya, Syeikh Muhammad Jailani b. Hasan b. Muhammad Hamid (1588 M).

Tidak hanya itu, tahun 1637 diragukan sebagai awal mula kedatangan Ar-Raniri di Aceh. Ada dua keraguan yang menyebabkan hal itu. Pertama, jika dilihat dari kemahirannya dalam berbahasa Malayu, sebagaimana ditunjukkan dalam kitab-kitabnya, maka sangat mustahil Ar-Raniri baru ke Aceh pada tahun tersebut.

Shirat al-Mustaqim, misalnya, yang berbahasa Melayu disususn pada tahun 1634, ketika belum menetap di Aceh. Sementara keraguan kedua, jumlah karya-karyanya yang menyampai 29 buku tidak mungkin dapat diselesaikan hanya dalam waktu tujuh tahun selama di Aceh (1637-1644 M).

Dua keraguan inilah yang memperkuat asumsi bahwa sebelumnya Ar-Raniri pernah datang ke Aceh, tetapi waktu itu tidak memperoleh sambutan dan penerimaaan yang layak dari pihak istana Sultan Iskandar Muda.

Dari sini, ia melanjutkan perjalanannya ke daerah lain di kawasan ini. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Kesultanan Aceh ketika Iskandar Muda berkuasa, ulama yang berpengaruh dan berperan sebagai mufti kerajaan adalah Syeikh Syamsuddin Al-Sumatrani. Pada masa ini paham wujudiyyah menjadi ajaran resmi kerajaan. Sementara Ar-Raniri menyerukan ajaran Sunni dan menentang paham wujudiyyah jelas kurang mendapat simpati dari Sultan

Setelah Syeikh Al-Sumatrani meninggal, kemudian disusul pula oleh Sultan Iskandar Muda dalam beberapa waktu sesudahnya, Ar-Raniri memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menyebarluaskan ilmu-ilmu agamanya.

Ketika itu, sultan yang berkuasa, Sultan Iskandar Tsani, menantu Iskandar Muda, memberikan penghormatan tinggi kepada Ar-Raniri dengan menjadikannya mufti kerajaan. Seperti Ar-Raniri, Sultan Iskandar Tsani juga menentang paham wujudiyyah.

Dengan kedudukan dan dukungan seperti ini, Ar-Raniri dengan leluasa dapat memberikan sanggahan terhadap paham yang dikembangkan oleh dua ulama Aceh sebelumnya, Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumaterani. Tidak hanya itu, Ar-Raniri juga sering menerima permintaan dari sultan untuk menulis kitab-kitab agama, terutama tentang tasawuf, dalam rangka membatasi pengaruh paham wujudiyyah di Aceh.

Kedekatan Ar-Raniri dengan Sultan ini membawa implikasi yang cukup luas. Misalnya, dalam satu kesempatan dan didukung oleh Sultan, Ar-Raniri mengadakan majelis persidangan dengan 40 ulama pendukung paham wujudiyyah guna membahas paham tersebut. Dari sidang ini kemudian lahir fatwa Syeikh Ar-Raniri dan para ulama istana yang menghukumi kafir terhadap para pengikut paham wujudiyyah, sehingga boleh dbunuh. Tidak hanya sampai disini, Ar-Raniri dengan penuh semangat menulis dan sering berdebat dengan para penganut paham panteisme ini dalam banyak kesempatan. Bahkan, perdebatan itu sering dilakukan dihadapan sultan.

Dalam berdebat, dengan segala kemahirannya, ia berupaya keras membongkar kelemahan dan kesesatan paham wujudiyyah yang dianggapnya bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, seraya meminta para pengikutnya untuk bertaubat dan kembali pada jalan yang benar (Al-Qur’an dan Hadits). Namun, kegigihan Ar-Raniri ini tidak banyak memenuhi target yang diharapkan.

Sebab para pengikut paham wujudiyyah tetap bersikukuh pada pendiriannya. Sehingga akhirnya dengan penuh keterpaksaan, mereka harus dihukum mati. Selain itu, untuk membumihabguskan paham wujudiyyah, maka kitab-kitab wujudiyyah-nya Harnzah dan Syamsuddin dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh.

Setelah tujuh tahun sebagai mufti kerajaan, pada tahun 1644 Ar-Raniri tiba-tiba kembali ke tanah kelahirannya, dan tidak kembali lagi ke Aceh. Ketika itu, Ar-Raniri sedang menulis kitab jawahir baru sampai bab kelima. Dan selanjutnya, ia perintahkan salah seorang murid dekatnya untuk menyelesaikan kitab tersebut. Kepulangan Ar-Raniri yang secara mendadak ini menimbulkan. pertanyaan. di kernudian hari.

Syeikh Nuruddin AI-Raniri

Pertama, sebagaimana diungkapkan oleh A. Daudy dalam bukunya, Syeikh Nuruddin AI-Raniri, Ar-Raniri kembali ke tanah leluhurnya karena ada ketidaksesuaian dengan kebijakan Sultanah Safiyyat al-Din yang berencana menghukum bunuh pada orang-orang yang menentang diperintah oleh seorang pemimpin perempuan. Sebagaimana berkembang dalarn tradisi masyarakat saat itu dan juga seiring dengan syari'at Islam yang dipahami masyarakat setempat, perempuan tidak layak jadi penguasa. A. Daudy memperkirakan bahwa Ar-Raniri termasuk bagian dari kelompok penentang tersebut.

Kedua, berdasarkan artikel Takeshi Ito pada tanggal 8 dan 22 Agustus 1643 dilaporkan, bahwa kepulangan Ar-Raniri disebabkan karena perdebatan antara dirinya dengan ulama baru keturunan Minangkabau, Sayf Al-Rijal. Perdebatan ini terus berlarut-larut karena Ar-Raniri selalu menilai pandangan Sayf Al-Rijal sebagai doktrin "sesat" karena termasuk paham wujudiyyah. Pada mulanya, Sultanah mengikuti pikiran-pikiran Ar-Raniri, tetapi saat itu pendapat Rijal menemukan momentum terbaiknya di mata sultanah.

Nampaknya, alasan yang terakhir atas lebih mendekati kebenaran. Pasalnya, jika Ar-Raniri tergabung dalam kelompok oposan yang menentang Sultanah, bagaimana mungkin Sultanah memberikan banyak kemudahan dan fasilitas dalam menyelesaikan karya-karyanya, termasuk beberapa waktu sebelum keberangkatannya.

Meski demikian, terlepas apa yang melatarbelakangi kepulangan Ar-Raniri, ia tergolong salah satu ulama besar yang telah memberikan sumbangsih besar bagi dunia Islam Nusantara, terutama dalam bidang tasawuf dan fiqh. Bahkan,secara metodologis, pikiran-pikiran Raniri memiliki keterkaitan dengan kehidupan tradisional Islam Indonesia.

Banyak perkara menarik mengenai ulama ini, di antaranya kitab fikah dalam bahasa Melayu yang pertama sekali berjudul ash-Shirath al-Mustaqim adalah karya beliau. Demikian juga mengenai kitab hadits yang berjudul al-Fawaid al-Bahiyah fi al-Ahadits an-Nabawiyah atau judul lainnya Hidaya al-Habib fi at-Targhib wa at-Tarhib, adalah kitab membicarkan hadis yang pertama sekali dalam bahasa Melayu.

Hampir semua penulis menyebut bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri dilahirkan di Ranir, berdekatan dengan Gujarat. Asal usul beliau ialah bangsa Arab keturunan Quraisy yang berpindah ke India. Tetapi salah seorang muridnya bernama Muhammad 'Ali atau Manshur yang digelarkan dengan Megat Sati ibnu Amir Sulaiman ibnu Sa'id Ja'far Shadiq ibnu 'Abdullah dalam karyanya Syarab al-'Arifin li Ahli al-Washilin menyebut bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah "Raniri negerinya, Syafi'ie nama mazhabnya, Bakti bangsanya."

Pendidikan dasarnya dipercayai diperolehnya di tempat kelahirannya Raniri atau Rander. Raniri/Rander, sebahagian riwayat mengatakan berdekatan dengan Kota Surat, dan riwayat lain mengatakan dekat Bikanir, kedua-duanya di negeri India. Syeikh Nuruddin ar-Raniri berhasil berangkat ke Mekah dan Madinah dalam tahun 1030 H/1621 M dan di sana beliau sempat belajar kepada Syeikh Abu Hafash 'Umar bin 'Abdullah Ba Syaiban atau nama lain ulama ini ialah Saiyid 'Umar al-'Aidrus.

Kepada ulama ini beliau mengambil bai'ah Thariqat Rifa'iyah. Dalam sektor Thariqat Rifa'iyah itu syeikh yang tersebut adalah murid kepada Syeikh Muhammad al-'Aidrus. Selain Thariqat Rifa'iyah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri juga pengamal Thariqat Qadiriyah.

Kedatangan Syeikh Nuruddin ar-Raniri buat pertama kalinya ke Aceh diriwayatkan dalam tahun 1577 M, tetapi ada juga ahli sejarah mencatat bahawa beliau sampai di Aceh pada tahun 1637 M. Ini bererti setahun setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda (memerintah dari tahun 1606 M hingga 1636 M). Syeikh Nuruddin ar-Raniri seakan-akan kedatangan pembawa satu pendapat baru, yang asing dalam masyarakat Aceh.

Setiap sesuatu yang baru selalu menjadi perhatian dan pengamatan orang, sama ada pihak kawan atau pun pihak lawan. Fahaman baru yang dibawa masuk oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu ialah fahaman anti atau penolakan tasawuf ajaran model Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Kedua-dua ajaran ulama sufi itu adalah sesat menurut pandangan beliau.

Syeikh Nuruddin ar-Raniri mendapat tempat pada hati Sultan Iskandar Tsani, yang walaupun sebenarnya pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda beliau tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas.

Oleh sebab ketegasan dan keberaniannya ditambah lagi, Syeikh Nuruddin ar-Raniri menguasai berbagai-bagai bidang ilmu agama Islam, mengakibatkan beliau sangat cepat menonjol pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Tsani itu. Akhirnya Syeikh Nuruddin ar-Raniri naik ke puncak yang tertinggi dalam kerajaan Aceh, kerana beliau mendapat sokongan sepenuhnya daripada sultan. Beliau memang ahli dalam bidang ilmu Mantiq (Logika) dan ilmu Balaghah (Retorika).

Dalam ilmu Fikah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah penganut Mazhab Syafie, walaupun beliau juga ahli dalam ajaran mazhab-mazhab yang lainnya. Dari segi akidah, Syeikh Nuruddin ar-Raniri adalah pengikut Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang berasal daripada Syeikh Abul Hasan al-Asy'ari dan Syeikh Abu Manshur al-Maturidi. Pegangannya dalam tasawuf ialah beliau adalah pengikut tasawuf yang mu'tabarah dan pengamal berbagai-bagai thariqah sufiyah. Tetapi suatu perkara yang aneh, dalam bidang tasawuf beliau menghentam habis-habisan


Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Walau bagaimanapun Syeikh Nuruddin ar-Raniri tidak pernah menyalahkan, bahkan menyokong Syeikh Muhyuddin ibnu 'Arabi, Abi Yazid al-Bistami, 'Abdul Karim al-Jili, Abu Manshur Husein al-Hallaj dan lain-lain. Perkataan yang bercorak 'syathahiyat' yang keluar daripada ulama-ulama sufi yang tersebut itu tidak pernah beliau salahkan tetapi sebaliknya perkataan yang bercorak 'syathahiyat' yang berasal daripada Syeikh Hamzah al- Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani selalu ditafsirkan secara salah oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri.

Di dalam karyanya Fath al-Mubin 'ala al-Mulhidin, Syeikh Nuruddin ar-Raniri berpendapat bahawa al-Hallaj mati syahid. Katanya: "Dan Hallaj itu pun syahid fi sabilillah jua." Padahal jika kita teliti, sebenarnya Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani itu pegangannya tidak ubah dengan al-Hallaj.

Ajaran Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani berpunca daripada ajaran Syeikh Muhyuddin ibnu 'Arabi, Syeikh Abi Yazid al-Bistami, Syeikh 'Abdul Karim al-Jili dalam satu sektor. Dan bahagian lain juga berpunca daripada ajaran Imam al-Ghazali, Syeikh Junaid al-Baghdadi dan lain-lain, adalah dipandang muktabar, sah dan betul menurut pandangan ahli tasawuf.

Bahwa ajaran tasawuf telah berurat dan berakar di kalbi, bahkan telah mesra dari hujung rambut hingga ke hujung kaki, dari kulit hingga daging, dari tulang hingga ke sumsum pencinta-pencintanya, yang tentu saja mereka mengadakan tentangan yang spontan terhadap Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Bahkan kepada siapa saja yang berani menyalah-nyalahkan pegangan mereka.

Pengikut-pengikut Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani menganggap kedua-dua guru mereka adalah wali Allah, yang faham terhadap pengetahuan syariat, tarekat, haqiqat dan makrifat.

Mereka beranggapan, walaupun diakui bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniri sebagai seorang ulama besar, yang dikatakan juga telah mengetahui ilmu tasawuf, namun tasawuf yang diketahui oleh Syeikh Nuruddin ar-Raniri itu hanyalah tasawuf zahir belaka.

Bahwa beliau hanyalah mengetahui kulit ilmu tasawuf, tetap tidak sampai kepada inti pati tasawuf yang sebenar-benarnya. Bahwa beliau baru mempunyai ilmu lisan sebagai hujah belaka, tetapi belum mempunyai ilmu qalbi, yang dinamakan juga dengan ilmu yang bermanfaat. Oleh itu, wajiblah mereka membela guru mereka yang mereka sanjung tinggi itu.

Peranan di Aceh

Ar-Raniri berperan penting saat berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya Hamzah al-Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam terutama yang baru memeluknya. Tasawuf falsafi berasal dari ajaran Al-Hallaj, Ibn 'Arabi, dan Suhrawardi, yang khas dengan doktrin Wahdatul Wujud (Menyatunya Kewujudan) di mana sewaktu dalam keadaan sukr ('mabuk' dalam kecintaan kepada Allah Ta'ala) dan fana' fillah ('hilang' bersama Allah), seseorang wali itu mungkin mengeluarkan kata-kata yang lahiriahnya sesat atau menyimpang dari syariat Islam.

Maka oleh mereka yang tidak mengerti hakikat ucapan-ucapan tersebut, dapat membahayakan akidah dan menimbulkan fitnah pada masyarakat Islam. Karena individu-individu tersebut syuhud ('menyaksikan') hanya Allah sedang semua ciptaan termasuk dirinya sendiri tidak wujud dan kelihatan. Maka dikatakan wahdatul wujud karena yang wajib wujudnya itu hanyalah Allah Ta'ala sedang para makhluk tidak berkewajiban untuk wujud tanpa kehendak Allah. Sama seperti bayang-bayang pada pewayangan kulit.

Konstruksi wahdatul wujud ini jauh berbeda malah dapat dikatakan berlawanan dengan faham 'manunggaling kawula lan Gusti'. Karena pada konsep 'manunggaling kawula lan Gusti', dapat diibaratkan umpama bercampurnya kopi dengan susu maka substansi dua-duanya sesudah menyatu adalah berbeda dari sebelumnya. Sedangkan pada faham wahdatul wujud, dapat di umpamakan seperti satu tetesan air murni pada ujung jari yang dicelupkan ke dalam lautan air murni. Sewaktu itu, tidak dapat dibedakan air pada ujung jari dari air lautan. Karena semuanya 'kembali' kepada Allah.

Maka pluralisme (menyamakan semua agama) menjadi lanjutan terhadap gagasan begini dimana yang penting dan utama adalah Pencipta, dan semua ciptaan adalah sama hadir di alam maya pada hanya karena kehendak Allah Ta'ala. Maka faham ini, tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kepercayaan syariat, dapat membelokkan akidah. Pada zaman dahulu, para waliullah di negara-negara Islam Timur Tengah sering, apabila di dalam keadaan begini, dianjurkan untuk tidak tampil di khalayak ramai.

Tasawuf falsafi diperkenalkan di Nusantara oleh Fansuri dan Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar kemudian dieksekusi mati oleh dewan wali (Wali Songo). Ini adalah hukuman yang disepakati bagi pelanggaran syariat, manakala hakikatnya hanya Allah yang dapat maha mengetahui. Al-Hallaj setelah dipancung lehernya, badannya masih dapat bergerak, dan lidahnya masih dapat berzikir. Darahnya pula mengalir mengeja asma Allah-ini semua karamah untuk mempertahankan namanya.

Di Jawa, tasawuf falsafi bersinkretisme dengan aliran kebatinan dalam ajaran Hindu dan Budha sehingga menghasilkan ajaran kejawen.

Ronggowarsito (Bapak Kebatinan Indonesia) dianggap sebagai penerus Siti Jenar. Karya-karyanya, seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, sering di aku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah. Namun banyak terdapat kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran dalam karya-karyanya itu.

Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab. Tanpa referensi kepada kitab-kitab Arab yang ditulis oleh ulama ahli syariat dan hakikat yang mu'tabar seperti Syeikh Abdul Qadir Jailani dan Ibn 'Arabi, maka ini adalah sangat berbahaya.

Ar-Raniri dikatakan pulang kembali ke India setelah beliau dikalahkan oleh dua orang murid Hamzah Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayatmengatakan beliau meninggal di India.

Karya-karyanya :
  • Kitab Al Shirat al-Mustaqim (1634) 
  • Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah (1635) 
  • Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib (1635) ? 
  • Kitab Bustanul As-Shalatin fi dzikr alAwwalin Wa’l-Akhirin (1638) 
  • Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi 
  • Kitab Latha’if al-Asrar 
  • Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman 
  • Kitab Tibyan fi ma’rifat al-Adyan 
  • Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah 
  • Kitab Hill al-Zhill 
  • Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamat 
  • Kitab Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq 
  • Kitab Syifa’u’l-Qulub 
  • Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq 
  • Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin 
  • Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an 
  • Kitab Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq 
  • Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah. 
  • Kitab Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh 
  • Kitab Kaifiyat al-Shalat 
  • Kitab Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan 
  • Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat al-Muwahhiddin 
  • Kitab ‘Alaqat Allah bi’l-‘Alam 
  • Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud 
  • Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud 
  • Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil 
  • Kitab Awdhah al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil. 
  • Kitab Syadar al-Mazid 
  • Kitab Jawahir al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum

https://youtu.be/RwPSiTFpcXA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ulon tuan preh kritik ngoen nasihat jih. Maklum ulon tuan teungoh meuruno.

Seulamat Uroe Raya

Admin Blog Atjeh Pusaka mengucapkan Seulamat Uroe Raya Idul Fitri 1 Syawal 1441 H... Neu peu meu'ah lahee ngon batein...